Jumat, April 04, 2025

Janggelut dan Gembukan Mbah Slamet: Legenda Kuliner Solo yang Tak Pernah Pudar

  Budiarto Eko Kusumo       Jumat, April 04, 2025
Di depan Apotek Kondang Waras Pasar Kembang Solo, sebuah lapak sederhana menjadi saksi hidup tradisi kuliner yang telah diwariskan selama tiga generasi. Lapak ini, dikenal dengan nama Janggelut dan Gembukan Mbah Slamet.
Penjualnya, Dian, merupakan menantu sekaligus penerus usaha tiga generasi dari janggelut Mbah Slamet yang ternyata berdarah Tionghoa dengan nama asli Tan Chai Lay. Mbah Slamet atau Tan Chai Lay menikah dengan wanita Jawa asli Wonogiri.
Tiap dini hari, Dian, bisa membawa adonan hingga 19 kg untuk dijual. Harga per bijinya Rp 500. Pembeli bisa memilih yang asin (janggelut) atau manis (gembukan). Ia buka sejak pukul 03.00 WIB dan berjualan hingga pukul 07.30 WIB. Sejak dini hari hingga pagi menjelang, lapak ini menjadi pusat keramaian, di mana pembeli rela mengantre untuk menikmati cita rasa yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Pembeli mengantre janggelut dan gembukan di depan Apotek Kondang Waras Solo pada hari sahur terakhir di bulan Ramadan tahun ini

Saya mengenalkan kisah penjual janggelut dan gembukan ini kepada anak wedhok ragil ketika di hari sahur terakhir sedang makan sahur dengan soto ayam di Pasar Kembang Solo. Menyeberang jalan, anak wedhok ragil saya suruh ikut mengantre.
Bagi saya pribadi, hal ini untuk menapaktilasi saat menjadi pengantin baru. Kala itu saya sering membelikan janggelut dan gembukan ini ketika mengantar istri untuk menyegat bus kota di dekat lapak tersebut untuk berangkat kerja.
Dengan dedikasi dan resep rahasia turun-temurun, lapak ini tidak sekadar menjual janggelut dan gembukan, tetapi juga menyajikan pengalaman nostalgia bagi para pelanggannya. Janggelut, yang terbuat dari terigu yang lembut dan dipadukan dengan santan serta gula merah, dan gembukan, penganan khas yang manis dan kenyal, menjadi primadona di Kota Solo, Jawa Tengah.
Sebagai makanan, janggelut sendiri memiliki sejarah yang unik. Pada zaman dulu, di Tiongkok terdapat seorang jenderal bernama Yue Fei yang dikenal memiliki integritas dalam menjaga keamanaan negerinya. Namun, hal ini menimbulkan iri dan dengki dari Perdana Menteri Qin Hui dan istrinya hingga memfitnahnya agar Jenderal Yue Fei dijatuhi hukuman mati ketika Perdana Menteri merekayasa kesalahannya.

Banner nama lapak Janggelut dan Gembukan Mbah Slamet depan Apotek Kondang Waras Pasar Kembang Solo

Dua puluh tahun kemudian, pada 1162 kaisar baru Song Selatan, Xiao Zong, merehabilitasi Yue Fei. Kaisar juga memerintahkan pembangunan makam dan kuil di Hangzhou sebagai bentuk penghormatan kepada sang jenderal perang. Kuil itu hingga sekarang masih berdiri.
Selain terdapat makam Yue Fei, di kompleks itu juga terdapat patung Qin Hui dan istrinya yang tengah berlutuh memohon ampunan kepada pria yang mereka bunuh.
Sementara itu, untuk melampiaskan kemarahan kepada Qin Hui dan istrinya, rakyat membuat dua batang roti yang digandeng lalu digoreng dan dimakan. Makanan itu kemudian dikenal dengan nama you tiao atau cah kwe.
Kehadiran janggelut atau cakwe (cah kwe) di Kota Solo, mungkin berbarengan dengan hadirnya komunitas etnis Tionghoa yang sudah eksis selama lebih dari dua abad, atau sejak kepindahan Kraton Kartasura ke Surakarta (Kota Solo).

Penjual sedang memotong adonan

Sedangkan, sejarah gembukan diperkirakan sejak masa penjajahan Belanda. Di Indonesia umumnya dikenal sebagai odading, dan di setiap daerah, gembukan mempunyai penyebutannya sendiri. Di Jakarta disebut bantal. Bolang-baling (Semarang), gembukan (Solo), kue goreng (Malang), kue bohong (Medan). Dan di Eropa tepatnya di Belanda, gembukan disebut kue oliebollen.
Odading atau gembukan, kue murah meriah nan merakyat setiap orang di Indonesia hampir pernah memakannya. Gembukan terbuat dari tepung terigu, dibentuk kotak dan digoreng agar mengembang, yang dikenalkan orang Belanda pada masa kolonialisme, dan telah disesuaikan dengan lidah pribumi.
Meskipun tempatnya sederhana, namun soal rasa, tidak ada yang meragukannya. Setiap gigitan membawa kehangatan dan kenangan masa kecil bagi siapa saja yang pernah merasakannya. Lapak Janggelut dan Gembukan Mbah Slamet bukan hanya sekadar tempat menyantap janggelut dan gembukan, tetapi juga saksi perjalanan waktu dan jembatan antara generasi, tempat di mana cita rasa dan kenangan bertemu dalam harmoni yang tak terpisahkan. *** [040425]


logoblog

Thanks for reading Janggelut dan Gembukan Mbah Slamet: Legenda Kuliner Solo yang Tak Pernah Pudar

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh .....

    Alhamdulillaah ......

    Mmmuuuaaannntttaaappp pisan euy .......

    BalasHapus

Sahabat Blog