Sabtu, April 29, 2023

Merasai Gurihnya Cabuk Rambak di Tirtotejo Fair 2

  Budiarto Eko Kusumo       Sabtu, April 29, 2023
Kota Surakarta atau yang lebih akrab dengan sebutan Kota Solo, dikenal sebagai gudangnya makanan dan minuman unggulan dengan cita rasa khas eksotis yang jarang dijumpai di tempat lain. Salah satu kuliner tradisional Solo yang masih terus bertahan hingga kini adalah cabuk rambak.
Cabuk rambak memang sudah mulai langka namun di sejumlah tempat yang ada di Kota Solo masih bisa dilihat. Sewaktu saya masih duduk di bangku SD, orang jualan cabuk rambak kerap keliling kampung dengan cara digendong oleh wanita paruh baya. Tapi, sekarang ini, cabuk rambak umumnya bisa ditemukan di penjual nasi liwet Solo, sebagai penganan sela atau camilan tradisional karena porsinya tidak terlalu mengenyangkan.
Sewaktu saya dan keluarga (istri beserta dua anak wedok) jalan-jalan melihat Tirtotejo Fair 2 yang pembukaannya dilaksanakan sehari setelah lebaran hari kedua versi pemerintah atau Senin (24/04) itu, saya menjumpai penjual nasi liwet dan cabuk rambak. Lapak jualannya tepat berada di depan arena pancingan bebek elektrik “Ananda” yang berada di timur Langgar Mutihan, Kelurahan Sondakan.

Penjual cabuk rambak di Tirtorejo Fair 2, Kampung Mutihan, Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta

Saya dan anak wedok yang bungsu pun kemudian mengantre untuk membeli cabuk rambak. Per porsinya dibandrol dengan harga Rp 5 ribu. Saya pesan dua porsi, satu untuk saya sendiri dan satunya lagi untuk istri. Kedua anak wedok masih terlalu asing dengan makanan tradisional ini.
Sesuai namanya, cabuk rambak ini berbahan utama cabuk dan rambak. Kata rambak sering kita dengar di beberapa daerah di Jawa, namun kata cabuk masih terasa asing. Cabuk mengacu pada biji wijen yang menjadi bahan utama sambalnya. Sementara rambak merupakan sebutan untuk kerupuk yang dibuat dari kulit. Belakangan karena harga kerupuk kulit semakin mahal, maka para pedagang berinisiatif menggantinya dengan kerupuk nasi (karak) yang juga termasuk salah satu rambak.
Satu porsi cabuk rambak berisi irisan ketupat yang disiram sambal berwarna cokelat pucat, terbuat dari dari wijen dan parutan kelapa yang disangrai serta ditaburi irisan daun jeruk purut. “Ketupatnya harus direbus selama 6 jam agar mendapat rasa yang enak dan awet untuk beberapa hari,” kata penjual cabuk rambak.
Kemudian penyajian cabuk rambak ini juga tergolong unik. Bukan menggunakan piring, tapi cabuk rambak ini dihidangkan dengan pincuk atau daun pisang yang dibentuk sedemikian rupa serta ditambahkan dengan karak. Selain itu, untuk memakannya bukan menggunakan sendok, melainkan menggunakan lidi kecil (biting). Rasa cabuk rambak sendiri cenderung gurih.

Bahan jualan cabuk rambuk: ketupat dan sambal wijen (kering dan basah)

Kuliner cabuk rambak ini tidak diketahui dengan pasti seluk beluknya. Namun, hidangan kuliner ini termaktub dalam Serat Centhini. Serat Centhini merupakan karya sastra Jawa lama yang memuat berbagai macam aspek kehidupan budaya Jawa abad 16-17. Satu di antara aspek itu adalah tentang kuliner Jawa. Dari 12 jilid yang terdiri dari 3500 halaman yang ada dalam Serat Centhini itu, memang penjelasan kuliner yang paling panjang.
Serat Centhini disusun secara bersama-sama dari tahun 1814 hingga 1823. Pujangga R.Ng. Yasadipura II, R.Ng. Ranggasutrasna, dan R.Ng. Sastradipura di bawah kendali Pangeran Adipati Anom Amangkungara III, yang kelak menjadi Paku Buwana V (1820-1823), merekam rupa-rupa makanan yang dikonsumsi ataupun sesaji [
1https://www.kompas.id/baca/opini/2021/11/28/serat-centhini-kompas-warisan-budaya-tak-benda-di-jawa
].
Menurut Wahjudi Pantja Sunjata dkk dalam bukunya, Kuliner Jawa dalam Serat Centhini (2014), dijelaskan bahwa Serat Centhini memuat berbagai macam kuliner dengan berbagai fungsi. Penceriteraan macam-macam kuliner itu tersebar di berbagai lokasi sesuai dengan kisah dan tokoh yang ada di dalamnya.
Di dalam Serat Centhini Jilid II Pupuh 157 Dhandangula bait 16-20 dikisahkan ketika Mas Cebolang bersama keempat santrinya (Palakarti, Kartipala, Saloka, dan Nurwiti) sedang berada berkelana di wilayah Kerajaan Mataram menyaksikan sebuah perhelatan yang cukup ramai [
2Sunjata, Wahjudi Pantja and Sumarno, Sumarno and Mumfangati, Titi (2014) Kuliner Jawa dalam Serat Centhini. Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta, Yogyakarta.
].

Satu porsi cabuk rambak dalam sebuah pincuk. Karaknya ditaruh dibawah daun pisang.

Pada saat perhelatan dilengkapi dengan pertunjukan wayang dan banyak penjual makanan yang berada di sana. Makanan yang dijual oleh para penjual pada saat pertunjukan wayang sangat beraneka ragam, salah satu di antaranya disebutkan cabuk rambak.
Dari karya sastra Serat Centhini itu, diketahui bahwa cabuk rambak telah ada ratusan tahun silam. Bernostalgia dengan makanan-makanan tradisional, seperti cabuk rambak, memang menawarkan pengalaman tersendiri selama berada di Kota Solo, yang oleh Umar Kayam dikenal sebagai kota “keplek ilat” (mouthwatering).
Keberagaman kuliner menjadi kekuatan Kota Solo sebagai daya tarik wisata dengan potensi wisata
gastronomic heritageWarisan gastronomi (gastronomic heritage) adalah seperangkat pengetahuan dan keterampilan kuliner yang diakui sebagai warisan oleh suatu komunitas
yang dimilikinya. Kelana boga di Kota Solo adalah tawaran wisata kuliner yang patut dicoba ketika Anda berada di Kota Solo. *** [290423]


logoblog

Thanks for reading Merasai Gurihnya Cabuk Rambak di Tirtotejo Fair 2

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog